930ff4bcMenjadi Pahlawan dalam Ketahanan Pangan :.Sejalan dengan Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Kabar Edukasi

Menjadi Pahlawan dalam Ketahanan Pangan :.Sejalan dengan Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan

Bali,- Jika sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hafal, apalagi tidak mau peduli alias cuek bebek, istilah bahasa pasar pergaulan, terhadap Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh Pahlawan Nasional Indonesia, Bapak Wage Rudolf( W.R) Supratman, apa kata dunia ?

Lagu Indonesia Raya terdiri dari 3 bait atau stanzah, jarang sekali dinyanyikan 3 bait. Pada stanzah ke 2 dan 3 terkandung makna kekayaan alam semesta serta nilai- nilai luhur, dan semangat patriot perjuangan Indonesia. Berikut penulis muat stanzah ke 2 yang menggugah juga Tim Globe Indonesia. com, Biro Buleleng, Bali, mencari dan mengumpulkan berbagai pendapat terkait peringatan Hari Pahlawan,10 November 2021, yang tahun ini sangat istimewa karena hari Raya Galungan sebagai peringatan terbesar keagamaan Hindu bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Indonesia tanah yang mulia. Tanah kita yang kaya. Disanalah aku berdiri untuk selama-lamanya.

Indonesia tanah pusaka. Pusaka kita semuanya. Marilah kita berndoa, Indonesia bahagia.

Subur lah tanahnya, subur lah jiwanya, Bangsanya, Rakyatnya semuanya. Sadarlah hatinya, sadarlah budinya untuk Indonesia raya.

Indonesia raya, merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang ku cinta.
Indonesia raya, merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia raya.

I Nyoman Bhaskara yang berdomisili di Kota Denpasar, Propinsi Bali, aktifis diberbagai organisasi sebagai wujud rasa nasionalisme, kecintaan kepada tanah pusaka, tanah air Indonesia menyampaikan bahwa: “Hari Raya Galungan kali ini bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2021, memiliki beberapa makna. Selain sebagai simbul hari kemenangan dharma melawan adharma, Galungan dapat dimaknai sebagai momen membumikan keberpihakan pada pahlawan pangan.

Siapa pahlawan pangan? Tiada lain adalah kaum Petani yang selalu setia menjaga, merawat dan memberdayakan ibu pertiwi atau tanah tempat kita hidup dan berpijak yakni Tanah Air Indonesia yang sudah dimerdekakan dari penjajahan bangsa asing oleh para Pahlawan kusuma bangsa. Tempat dilakukan kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, serta perikanan” , ujar Bhaskara.

Ia juga sebagai salah satu inisiator berdiriny organisasi Baja Tani Bali( Bangga Jadi Petani Bali), melanjutkan bahwa: “Bagi Indonesia yang dulu terkenal sebagai sebuah negara agraris, tanahnya yang subur yang merupakan anugerah Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dan Kuasa seharusnya bisa menjadi negara adi daya di bidang pangan.

Ketahanan pangan mesti menjadi gerakan terstruktur, sistematik dan masif, menuju kedaulatan pangan. Ini mengandung makna luar biasa yang memberikan kesempatan bagi segenap rakyat Indonesia untuk menjadi pahlawan- pahlawan masa kini demi Indonesia raya. Mari berjuang bersama demi jati diri, harkat dan martabat Bangsa dan Negara Indonesia di mata dunia. Negara yang mampu mewujudkan kedaulatan pangan akan menjadi pengontrol kehidupan banyak negara lain yang potensi atau sumber daya alam hayati dan non hayati sangat minim. Dan Indonesia memang mempunyai potensi besar untuk itu.

Salah satu kuncinya kemauan politk para pemimpin di tataran percaturan politik Nasional” , ujar Bhaskara Pendiri Agro Learning Center( ALC ) dan juga Pendiri KITA Indonesia( Komunitas Inovasi Teknologi Agro Indonesia) yang anggotanya dari berbagai daerah, Akademisi dari berbagai Kampus, bahkan ada beberapa yang saat ini berdomisili di luar negeri” , tutup Baskara bersemangat.

Penulis juga melakukan wawancara dengan pelaku usaha bisnis pertanian dan perdagangan komoditas kopi dan sudah melakukan eksport ke beberapa negara, Nyoman Budi Artama, S.T yang berasal dari Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Budi Artama menceritakan bahwa: “Desa Munduk pada jaman perang kemerdekaan pernah menjadi salah satu tempat markas pasukan Indonesia. Sudah selayaknya, saya dan segenap warga Bali maupun Indonesia sebagai generasi penerus melanjutkan semangat juang para Pahlawan.

Dengan hal yang sederhana namun dalam jangka panjang bisa menyiapkan sebuah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dengan cara- cara yang tidak bertentangan dengan ajaran agama atau ajaran dharma dan hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Misalnya gerakan melestarikan lingkungan hidup adalah ajaran dharma juga, kalau kita merusak lingkungan hidup itu adalah perbuatan adharma” , tugas Budi Artama.

Ia melanjutkan bahwa: “Dalam ajaran agama Hindu, ada Tri Hita Karana, yang mengharuskan adanya hubungan harmonis manusia dan alam lingkungan. Manusia dan alam lingkungan sama- sama ciptaan Tuhan. Sesama manusia pun harus menjalin hubungan yang harmonis, bukan saling menyakiti, manusia yang satu jangan menjajah manusia yang lain. Kita patut bersyukur juga bahwa para pendiri Negara Indonesia yang merumuskan UUD 1945 , dalam Pembukaan mencantumkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kehidupan dan pri kebangsaan” , ujar Budi Artama, yang juga Bendahara pada organisasi Baja Tani Bali Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Penulis juga bersilaturahmi dalam kaitan hari raya Galungan dan Kuningan dengan Nyoman Resep yang lahir pada jaman perang kemerdekaan.

Dikisahkan bahwa Ayahnya, yang akrab dipanggil Bape ( Bapak) Wiria yang berasal dari Desa Banjar, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali, sejak muda berjuang mencari penghidupan di wilayah pegunungan, yang kemudian sejak 1971 bernama Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Nyoman Resep yang menjadi Kelian Subak Giri Merta yang berada di Wilayah Desa Wanagiri pada tahun 1979, menuturkan bahwa dengan bertani kebutuhan pokok manusia berupa makanan bisa terpenuhi dan bisa merubah taraf kehidupan yang lebih baik dan sejatera. Nyoman Resep menyampaikan bahwa: “Ketika Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali, yang berada di wilayah Kabupaten Karangasem, meletus dahsyat 1963 dan banyak menelan korban jiwa serta harta benda, banyak warga terdampak mengungsi. Salah satunya ke wilayah Asah Panji, Alas Ambengan serta Yeh Ketipat yang saat itu menjadi wilayah Desa Panji, Desa Ambengan, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.

Berkat perjuangan yang gigih para Pengungsi yang akhirnya menetap di wilayah tersebut, banyak yang hidup lebih sejahtera dan memiliki lahan sendiri dengan cara membeli”  ujar Nyoman Resep, yang sering mengikuti pelatihan budi daya kopi hingga di luar Bali.

Ia melanjutkan bahwa: “Dengan semangat juang yang kuat dan selalu takwa serta bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, peluang hidup lebih sejahtera sangat terbuka. Saya berserta istri, Wayan Resmi (almh 2018) dan kedua orang tua saya ( alm- almh ) merasa bersyukur berkat menjadi Petani yang ulet, gigih berjuang membangun budaya gotong- royong, melaksanakan ajaran Tri Hita Karana, astungkara ( red: puji syukur Tuhan merestui),serta rutin menyisihkan hasil dari bertani untuk ditabung, kami bisa hidup lebih baik. Saat ini bisa memiliki lahan seluas 2 hektar sebagai tempat menyambung hidup”, ujar Nyoman Resep.

Ia melanjutkan: “Jangan malu jadi Petani, sudah terbukti dengan bekerja giat sebagai Petani bisa merubah nasib. Saya berharap banyak pemuda dan pemudi berkarya sebagai Petani maupun bergerak mengembangkan bisnis di sektor Pertanian dengan jalan dharma.

Apalagi di Bali yang mayoritas beragama Hindu, setiap upacara keagamaan pasti menggunakan hasil pertanian dan peternakan. Berjuang membangun ketahanan pangan adalah wujud bakti kepada Agama dan kepada tanah air Indonesia. Saya sangat berharap ada banyak Pengusaha besar yang mau berinvestasi di Bali, termasuk di wilayah Desa Wanagiri di sektor pertanian” , tutup Nyoman Resep yang sudah setengah abad lebih hidup sebagai Petani.

Tim Biro Buleleng
Penulis:
Lambertus Theo, S.Sos.
Ketut Sopandana, S.P.
Emanuel Deus L.T.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *